160212 – Artikel – Beban
Saya memang terbiasa membawa tas dengan banyak barang seperti netbook, buku bacaan, hard disk eksternal, dll, walau tak selengkap teman kuliah saya sampai obat-obatan, handiplast, dia punya di dalam tasnya. Berat… Itu yang selalu ‘dikomplain’ oleh mama.
Katanya, buat apa sih bawa segitu banyak. Cuma berat-beratin dan bisa bikin badan saya bungkuk. Begitu. Tapi entahlah, sudah terbiasa bagi saya sehingga tak terasa berat sekali. Kebiasaan ini sebenarnya dimulai saat saya kelas 4 SD.
Wali kelas saya saat itu memang terkenal sebagai guru killer. Saya jadi selalu membawa barang lengkap alias semua mata pelajaran, termasuk yang tidak ada hari itu saya bawa-bawa. Ketakutan saya membuat saya seperti itu.
BEBAN
Dengan membawa tas yang berisikan semua buku, bahkan lem aibon pun saya bawa terus tiap hari, tentunya memberikan sebuah beban pada diri saya. Setiap harinya, saya berjalan ke sekolah dengan tas yang berat dan bahkan membawa tas tambahan. Tapi… Itulah yang saya lakukan dari hari ke hari. Membawa beban yang seharusnya tidak perlu saya bawa.
Hal ini sama seperti halnya membawa ‘beban’ dalam hidup. Kita sering membawa beban dalam hidup kita tanpa disadari. Bukan karena apa-apa, tapi karena ‘terbiasa’ dengan beban itu. Padahal, beban itu membuat kita semakin bungkuk (baca: menderita).
Saya jadi teringat sebuah kisah yang saya dapatkan beberapa waktu lalu. Kisah tentang beban yang saya dapatkan dari seorang kawan. Dianalogikannya dengan tas backpack.
Hidup kita diibaratkan dengan tas backpack yang super duper padat (sama seperti tas saya sehari-hari). Kita mengisi tas itu dengan barang-barang yang ‘diperlukan’ untuk hari-hari kita. Mulai dari senyuman, tawa, tangis, pelukan, impian, memori, dll.
Bukan berarti semua itu tak penting. Tapi kita harus dapat memilah. Mana yang perlu untuk dibawa, mana yang harus ditinggalkan. Impian misalnya. Sangatlah penting dalam hidup memiliki mimpi. Mimpi masa depan. Tapi… Tak perlu membawa semuanya sekarang sekaligus. Pilahlah. Mana yang diutamakan sekarang. Memori. Ada kenangan yang memang tak perlu dibawa terus-menerus.
Karenanya, ada baiknya jika memeriksa tas bawaan kita sesekali, dan meninggalkan barang-barang yang tak diperlukan. Dan saya melakukannya untuk tas saya. Dari hari Selasa kemarin, saya tidak membawa netbook saya dan perlengkapannya tentunya karena saya merasa tidak akan saya gunakan di hari itu. Dan hasilnya…. Ringan. Tas saya jauh lebih ringan dari biasanya (walaupun saya masih membawa buku saya).
KOTORAN
Dalam buku Ajahn Brahm, Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya, juga menuliskan hal ini. Namun beban hidup dianalogikan dengan KOTORAN. 🙂
Jadi, kita diibaratkan membawa kotoran dalam hidup kita, setiap harinya. Dan bertambah dari hari ke hari. Hingga akhirnya menjadi banyak.
Dan kita terkadang membawa kotoran ini ke rumah. Dan membuat rumah kita menjadi penuh dengan kotorannya. Sebenarnya, kotoran itu berguna. Bisa sebagai pupuk, jika dikelola dengan baik, dengan jumlah yang tepat, pada waktu yang tepat. Tetapi, banyak dari kita membawanya terus menerus tanpa mengelolanya.
Dan diibaratkan menumpuk kotoran di depan rumah yang baru kita beli, yang sangat indah. Sampai-sampai rumah itu tertutup dan tak terlihat lagi. Hanya kotoran saja yang tampak dan membuat orang-orang enggan mengunjunginya.
Kita sebaiknya menimbun kotoran yang memang tak diperlukan, agar rumah indah kita terlihat dan dikunjungi. Lepaskanlah beban yang tak perlu dibawa-bawa setiap saat. Let go…
PENGELOLA
Layaknya dalam hal penanganan limbah, ada pengelolanya, dalam hidup, kita adalah pengelola ‘kotoran’ kita. Kita yang menentukan, apakah akan kita timbun, daur ulang atau kita biarkan.
Pilihannya ada di kita. Apakah kita mau hidup dengan ‘kotoran’ itu atau tidak. Masing-masing tentunya dengan konsekuensi masing-masing.
Mengelolanya dengan menimbun, artinya kita lepaskan beban itu. Lupakan. Dan berjalan melanjutkan hidup kita. Karena, apa yang telah terjadi, tak dapat diputar ulang.
Dengan daur ulang, prinsipnya sama. Kita melepaskan beban. Tapi di saat yang sama, kita mendaurulang atau mengambil manfaat dari beban kita. Bedanya dengan menimbun (ini pendapat saya) adalah mengambil manfaatnya.
Beban seberat apapun, pasti ada hikmahnya saat kita alami. Ada yang bisa kita petik sebagai pelajaran hidup kita. Inilah yang saya katakan sebagai daur ulang.
Yang ketiga, membiarkannya dalam bawaan kita. Artinya kita ingin selalu membawa-bawa beban itu. Sudah tau dong resikonya? Berat dan bisa bikin stress.
Satu hal yang disebutkan dalam buku Cacing tersebut, yang saya pakai dalam hidup saya adalah: ‘these too will pass’. Semua akan berlalu. Beban seberat apapun, pasti akan berlalu.
Memang dalam hidup ini kita memikul beban tapi… Seberat apapun itu, akan berlalu. Mungkin tidak saat ini, tapi selama kita yakin dan berusaha yang terbaik, beban (baca: masalah) itu akan dapat kita lalui. Kalau kata orang-orang: ‘indah pada waktunya’.
Pilihan atas pengelolaan beban itu ada pada kita. Pilihan kita. Dengan konsekuensi masing-masing. Jadi, mana yang dipilih sekarang?
Apapun pilihannya, ingatlah:
‘You’ve got a friend in me…. Anytime. Anywhere.’
Ryan
170212 0531
Best Regards,
Febriyan Lukito