270112 – Artikel – Being Angry Is Human
“KESEEELLL… Kesel… Kesel… Kesellllll” seorang pria muda sekitar 26 tahunan teriak di sela-sela acara hang out dengan teman-temannya.
‘Kenapa loe? Tau-tau teriak kayak orang gila. Ada masalah?’ Tanya seorang gadis di sampingnya yang merupakan sahabat karibnya.
‘Iye. Kesel gw ma bos gw. Gw kerjain ini…. Salah. Gw kerjain itu… Salah. Maunya apa sih tuh bos! Pake cara gw sendiri salah. Pake cara dia juga masih aja salah. Capek! Pengen marah!’ Jawab pria tadi. Sang gadis tersenyum mendengar ungkapan temannya itu.
‘Coba ya bayangkan…. Dia minta gw siapin laporan bulanan dengan grafik perkembangan masing-masing bagian. Detail. Gw buatlah itu laporan. Pas gw kasih, dia bilang – grafiknya pake grafik batang 3D. Jangan kayak gini. Terus penjelasan grafiknya juga singkat aja. Rubahlah laporan gw.’
‘Sudah gitu.. Setelah gw rubah seperti yang dia mau, gw baliklah ke dia lagi. Ajuin lagi. Eh…. Direvisi lagi. Katanya siapin juga detail biaya-biayanya. Dan grafiknya. CPD….’ Lanjut pria tadi.
Semua teman-temannya mendengarkan dengan seksama. Termasuk si gadis. ‘BT ga sih loe kalo digituin. Sialnya lagi, gw harus selesaiin sebelum jam 4. Gila. Pas jam 4 gw kasih, eh dia bilang, gpp besok aja. Sial tuh orang…. Gimana kalau loe jadi gw.’
Segera setelah pria itu menyelesaikan ceritanya dengan ‘gimana kalau loe jadi gw’ teman-temannya yang tadi hanya diam mendengarkan mulai riuh mengemukakan pendapatnya masing-masing bahkan ada yang curhat.
‘Pantes kok. Mang tu bos loe ga mikir kali ya. Masa sih gitu banget. Keterlaluan.’ Salah seorang menjawab.
‘Iya… Bener tuh kata dia. Jangan mentang-mentang bos, dia bisa seenaknya kayak gitu. Masih mending lo marah-marah doang. Kalo gw sudah gw bentak balik kali.’ Sambung yang lainnya.
‘Iye.. Setujuh gw ma ni anak satu. Tumben lo pinter coy. Gw juga sering kok digituin ma bos gw. Kalo gw rasa ya… Sudah kesepakatan tu.. Semua bos kalo punye anak bueh harus digituin… ‘
Semua menyambung satu per satu perkataan sehingga membentuk pulau – eh salah – membentuk opini seragam bahwa bos itu selalu seperti itu. Arogan. Sukanya nyuruh-nyuruh ga jelas and suka marah-marah. Jadi mau bener atau salah tetep aja dimarahin.
Tapi entah kenapa si gadis hanya diam. Dia tersenyum namun tak berkata apa-apa. Hal ini tentu saja membuat si pria tadi bingung. Sebagai sahabatnya, tentunya dia mengharapkan si gadis mendukungnya seperti teman-teman yang lainnya.
Karena itu, dia pun menanyakannya. ‘Hei, kenapa kamu diam aja?’
Si gadis masih tersenyum. Semua teman sekarang menatapnya dan menunggu jawabannya. Si gadis menarik nafas dalam-dalam dan mulai berucap.
‘Saya mengerti kok apa yang kamu and yang lainnya rasakan. Saya juga seorang bawahan kan. Jadi tau kok rasanya punya bos seperti apa.’
‘Saya pernah berasa dikerjain habis-habisan oleh bos saya sebelumnya. Dia sepertinya memang ingin melakukan segala cara untuk mengerjai saya. Sejak jam kantor dimulai hingga jam pulang. Bahkan saat overtime.’
‘Mulai dari urusan kecil hingga laporan urgent yang ujung-ujungnya tidak digunakan pula. Ditambah lagi, dia suka marah-marah di hadapan semua karyawan lainnya. Perasaan saya ga jauh beda dengan perasaan kalian kok. Jengkel. Marah. Pengen banting bos itu malah kalau bisa.’
‘Iya kan… Bos mang seperti itu tuh…. ‘ Timpal salah seorang kawan. Si gadis hanya tersenyum sebelum melanjutkan ceritanya.
‘Iya. Beberapa bos memang tipikal seperti itu. Tapi ada juga yang tidak. Dan ternyata, bosku itu tidak seperti itu. Dia lakukan semua dengan satu tujuan yang aku ketahui belakangan.’
‘Apa itu?’ Tanya seorang pria di ujung.
‘Sebentar… Biar saya lanjutkan dulu. Nanti juga akan tahu tujuannya. Jadi.. Dulu aku pun mencak-mencak. Dan mengerjakan apa yang dimintanya dengan ngegerutu. Dongkol di dalam hati. Semakin lama semakin dongkol karena salah-salah terus. And akhirnya pekerjaanku jadi semakin lama lagi selesainya. Bos makin marah lagi.’
‘Sampai suatu hari, seorang kawan lama yang aku ceritakan berkata padaku: ‘coba deh. Marahnya dilepaskan. Dongkolnya jangan dibawa pas kerja. Kamu boleh marah ma atasan kamu. Tapi jangan lampiaskan ke kerja. Kalau memang atasan salah, kamu berhak kok mengingatkan. Jadi kalau kamu merasa atasan ga tepat marah-marahnya, ya diajak bicara aja atasanmu. Tapi.. Ingat. Jangan marah-marah ke kerjaan. Kerjaan kamu ga akan beres kalau sudah seperti itu.’ Dan aku pikir-pikir semakin lama makin masuk akal. Kerjaanku makin banyak salah bukan karena atasanku. Tapi karena aku yang dongkol and jadi ngerjainnya buru-buru and ga teliti.’
‘Tapi… Kamu dongkolkan karena atasanmu itu. Jadi ya salah dia dong.’
Si gadis tersenyum dan menjawab, ‘atasanku memang membuat aku dongkol. Tapi yang seharusnya aku lakukan kan lampiaskan dongkolnya ke dia. Bukan ke kerjaanku. Itulah. Sejak temanku itu berkata seperti itu, aku mulai memahami dan sedikit demi sedikit berubah. Aku kurangi dongkolku ke kerjaan. And semakin lama semakin lancar. Dan… Suatu hari aku menghadap atasanku. Karena aku merasa dia tidak fair dalam memarahiku terus-terusan, bahkan di saat aku tak salah.’
‘Dan… Saat itulah aku belajar. Bosku sebenarnya bukan marah-marah ke aku. Tapi dengan caranya dia mendidikku untuk berpikir one step ahead. Rather than just do my work, I have to do my work with user’s perspective. Aku harusnya sudah bisa menyiapkan pekerjaan-pekerjaan yang diminta dari kacamata si pengguna. Selain itu, dia mengajarkanku untuk manage waktuku dengan baik. Mana yang urgent. Mana yang tidak. Satu kesalahan dia, dan dia mengakuinya saat aku confront dirinya, adalah, dia tidak mengkomunikasikannya dengan cara yang baik.’
‘Aku pun berpikir ulang mengenai semua yang telah terjadi. Dan aku sadar bahwa setelah beberapa waktu, aku memang bekerja dengan lebih baik. Mulai menyiapkan laporan dengan lebih baik – mudah dimengerti dan juga waktuku dalam bekerja jauh lebih efektif. Semua bisa kuselesaikan dalam waktu yang singkat.’
‘Atasanku juga berkata bahwa selama ini, dia melihatku berpotensi. Namun terkurung dalam pikiranku sendiri. Bahwa diriku tidaklah capable. Karena itu dia melakukan itu semua. Dan dia ingin mempersiapkanku menjadi asistennya. Dia memintaa maaf padaku atas perlakuannya selama ini, tapi saat itu aku sudah benar-benar lupa karena aku kini melihat sisi lain dari kejadian-kejadian sebelumnya. Bahwa ada sisi bagus yang aku dapatkan.’
‘Memang… Kita berhak untuk marah, jengkel, dll. Tapi… Saat kita marah, kita biasanya menjadi bias. Ga marah aja sih. Saat sedih, bingung, emosi mengambil alih dan menutup pandangan kita. Aku beruntung punya teman yang mengingatkanku itu. Dan akhirnya aku paham. Marah dari sisiku karena aku tidak mengetahui kenapa atasanku melakukannya. Apakah memang karena aku tidak mampu sehingga pantas dimarahi? Atau ada maksud lain?’
‘Saat kita tak mampu pun, aku setuju kalau kita tetap tak pantas diperlakukan tidak baik. Tapi…. Apakah kita pernah membicarakannya? Ataukah kita hanya menyimpannya dan menggerutu di belakangnya tanpa pernah menyampaikannya? Mungkin atasan saat itu pun sedang emosi. Sama-sama mengingatkan.’
‘Satu yang aku pelajari adalah… Penting sekali berkomunikasi. Tapi komunikasi tanpa emosi. Jadi… Marah itu wajar kok. You have the right to be ANGRY. Tapi… Jangan biarkan emosinya mengalahkan akal kita. Berkomunikasi dengan akal sehat akan jauh bermanfaat. Atasan kan juga manusia – bisa saja khilaf.’
Semua yang mendengar tertegun. Sepertinya semua mulai memahami…. Selama ini… Emosi menguasai.