Kisah sebelumnya, setelah sekian lama tidak saya lanjutkan, bisa dibaca di sini
***
“Ingat apa?” tanyaku seraya meminum caramel machiattoku.
Matanya menerawang jauh sejenak sebelum menjawab pertanyaanku. Entah apa yang dipikirkannya.
“Saat pertama kali kita bertemu.” Kali ini dia menatapku lekat. Aku menganggukkan kepalaku.
“Entah kenapa hari itu aku menarikmu. Ada sesuatu di dalam sini yang mendorongku untuk menahanmu,” ujarnya seraya menunjuk dadanya yang bidang itu. “Mungkin….”
“Mungkin???”
“Mungkin ini yang dinamakan jodoh.” Dia memberikan senyum indahnya lagi, senyum yang dulu dia berikan saat kutatap dirinya yang basah karena menyelamatkanku kala itu.
“Mungkin… Dan kalaupun bukan, aku juga sangat bersyukur ditolong olehmu, Than.” Aku menundukkan kepala tak mampu menatap wajahnya. Aku tahu, selama ini dia mengharap lebih padaku. Namun…
“Hei… kenapa?” jemarinya mengangkat daguku perlahan. “Aku tak memaksa, tak pernah dan tak akan pernah… Aku mengerti perasaanmu. Dia kan selalu ada di hatimu. Aku paham itu kok.”
Ah… Than, kenapa sih kamu baik kepadaku. Bahkan setelah aku menolak permintaanmu menjadi pacar. Kenapa kamu tidak seperti yang lain, pergi meninggalkanku.
“Aku tak akan meninggalkanmu Dian Permana Putri. Aku kan selalu di sisimu, sebagai apapun yang kau inginkan.”
“Please, Than. Don’t do this. Aku….”
“Dian,… kamu tahu? Saat aku menolongmu, sebenarnya… aku sendiri sedang terpikirkan untuk melakukan hal yang sama. Namun aku mendengar teriakan di sampingku, seorang pria berteriak agar aku menolongmu. Tanpa pikir panjang aku berlari dan menolongmu. Dan saat aku berhasil menolongmu, tak ada satupun yang kukenali suaranya sebagai suara pria itu.”
Aku terdiam mendengarkan kisahnya, belum pernah dia menceritakan ini. Mik… apakah itu kamu Mik?
“Yang pasti, kalau saja pria itu tak berteriak padaku, aku pun sudah sama sepertimu. Menyerahkan diriku pada lautan itu.”
Aku masih diam, dia… penyelamatku ternyata juga ingin…
“Memang, apa yang ingin kulakukan itu bukanlah hal yang baik. Dan aku tak bangga dengan hal itu. Tapi kenyataannya memang saat itu aku sedang putus asa.”
Dia menghela nafas sejenak, memberi jeda. Aku yakin membicarakan masalah ini bukanlah hal yang gampang, sama seperti diriku kala itu.
“Awalnya aku datang ke Bali untuk menikmati hari jadiku dengan dia. Semua kami rencanakan semua sejak lama. Namun saat waktunya sudah mendekat, tiba-tiba saja dia menghilang tanpa kabar. Dan terakhir yang aku dengar dari teman-temannya adalah bahwa dia menikah karena dirinya telah hamil.” Aku kaget mendengarnya, selama ini aku pikir hanya wanita yang diduakan oleh pria, namun dia justru mengalami sebaliknya. “Ya… aku sakit hati. Namun karena semua tiket dan penginapan sudah diatur, aku putuskan untuk tetap berangkat. Dan entah kenapa, saat itu, saat melihat senja aku ingin sekali mendekat pada senja. Hingga…”
“Hingga kau mendengar suara itu dan melihatku. Dan kemudian kamu menolongku.” Aku memotongnya. Dia tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Dan… ternyata semuanya sangat pantas aku lakukan. Jika saat itu aku tak ke sini, aku takkan pernah bertemu denganmu. Dan mungkin aku takkan pernah berani melakukan ini.”
Tiba-tiba dia berlutut di hadapanku, di cafe itu. Dengan dilihat oleh banyak pengunjung, dia mengeluarkan sebuah kotak hitam kecil dari saku kemejanya.
“Dian Permana Putri, kau telah menjadi senja terindah dalam hidupku. Setiap hari, semenjak hari itu, hariku selalu dihiasi keindahan senja. Maukah kau terus menjadi senja terindah dalam hidupku dan bagi calon anak-anakku kelak, anak-anak kita. Would you marry me?”
Pipiku panas memerah. Terlalu mendadak. Dan di hadapan banyak orang seperti ini…
“Aku tahu. Kamu masih memikirkan dia. Dan aku rela membagi hatimu untuk dia. Dia yang selalu mengisi hatimu sejak lama takkan pernah terganti. Bahkan olehku. Dan aku rela karena dialah yang mengenalkanku padamu.”
“Aku…. Kenapa Than? Kenapa kamu lakukan ini?”
“Aku tahu bahwa kamulah masa depanku. Aku tahu kamulah ibu dari anak-anakku kelak. Aku tahu kamulah istri yang aku cari. Aku juga tahu kamu masih ragu. Tapi aku takkan menyerah mencintaimu hingga kamu menyadarinya.”
“Than…” Mataku berkaca-kaca mendengarnya. Sebenarnya aku pun tak tahu sejak kapan, namun kebersamaanku dengan dirinya telah merubah hatiku perlahan dan membuatku membuka hati.
Aku pun menganggukkan kepalaku pelan dan Nathan menarik tanganku dan menyematkan cincin itu di jari manisku. Diiringi dengan tepuk tangan dari pengunjung cafe di sekeliling kami. Aku bahkan sampai lupa kalau aku sedang di cafe saat aku menganggukkan kepalaku tadi.
Aku pun hanya tersenyum malu melihat semua pengunjung dan Nathan kemudian menarikku dalam pelukannya. Dia mencium keningku, hidungku dan kemudian bibirku pelan.
“Selamanya cintaku hanya untukmu, senja terindahku.” bisik Nathan yang semakin membuatku malu.
Dan entah siapa yang memasang, di cafe itu tiba-tiba terdengar lagu Selamanya Cinta, lagu kesukaanku jika bersama Nathan.
“Ini untukmu sayang…” Nathan kembali berbisik padaku.
Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku
Hingga membuat kau percaya
Akan ku berikan seutuhnya rasa cintaku
Selamanya selamanya…