“Jadi???” Suara mbulet dari mulut mbulet yang sedang mengunyah mie ayam itu menyadarkanku dari lamunan.
“Jadi apaa? Lo tuh ya… kalau lagi makan jangan ngajak orang ngomong. Gak sopian… n geje yang lo omongin apaan.” jawabku ke Gita yang masih saja asik menyantap mie ayam langganan kami.
Setelah meneguk Es Jeruk Kelapa Muda, Gita pun mempertegas pertanyaannya tadi, yang sebenarnya aku sudah mengerti. Tapi enggan menjelaskannya.
“Maksud gw… jadinya lo gimana sama dia?”
Ini yang membuatku malas menjawab. Dia…
“Gak ngerti.” ujarku seraya mengangkat bahuku sedikit.
“Lah kok? Kemarin lo bilang doi lagi deket sama lo. Sekarang kok gak tahu.”
“Ya emang kenyataannya gitu kok. Gw gak ngerti.” Aku menyesap kopi hitam pesananku sebelum melanjutkan, “Gw emang suka dia n kemarin memang dekat sama dia. Tapi sekarang… gw gak ngerti. Dia anggap gw seperti apa.”
“Lo ini cowok apa bukan sih? Masa gitu aja bingung. Kalau mang lo suka… deketin… tembak… pacaran… nikahin. Gampang kan?” suara Gita agak meninggi sebelum melanjutkan melahap mie ayam yang baru dipesannya lagi itu. Ini sudah mangkok ketiga.
Aku pun terdiam. Bukannya aku tak mau menembaknya dan menjadikannya pacarku bahkan calon. Tapi…
***
‘Hei… I miss you, what are you doing now?’
Aku sudah mengirimkan bbm itu sepuluh menit yang lalu. Dan hingga saat ini statusnya masih D. Ke manakah dia? Tak tahukah dia kalau aku menunggu kabar di sini?
Kuletakkan handphoneku itu dan berusaha mengalihkan pikiranku ke yang lainnya. Kunyalakan TV dan mencari acara yang mungkin dapat mengalihkan pikiranku darinya. Namun tetap saja pikiran ini melayang ke dirinya lagi. Dia memang sudah mencuri hatiku sejak pertama kali aku kenal dirinya di dunia maya bernama twitter.
Perkenalan melalui bbm pun terjalin dan berlanjut. Beberapa kali aku mengungkapkan rasa sayangku padanya walau belum pernah bertemu. Tapi hatiku ini rasanya sudah menemukan belahannya. Itu yang kuyakini setiap aku mengungkapkan rasaku itu. Namun berkali-kali pula dia tak menanggapi dan hanya memasang emoticon senyum yang bisa memiliki jutaan makna.
Getaran handphoneku menyadarkan diriku dari lamunan, sebuah notifikasi bbm baru. Darinya.
‘Terima kasih sudah merindukanku.’
Hanya itu… ARGHHHHHH teriakku dalam hati. Aku menggaruk rambut kepalaku yang tidak gatal sama sekali. Apa pula maksudnya ini? Ingin aku balas dan menanyakan tapi aku sudah tahu kalau dia hanya akan membalasku dengan emoticon senyum kembali.
***
‘Aku mengenakan sweater merah jambu dengan pita AIDS.’
Itu pesannya beberapa jam lalu. Ini adalah pertemuan perdanaku dengan dirinya. Setelah sekian lama aku mengajaknya bertemu, akhirnya dia pun mengiyakan. Hari ini aku sudah di coffee shop tempat janjian sepuluh menit lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Aku tak sabar ingin bertemu dengannya.
Sebuah buku novel yang pernah disebutnya dalam twitter sebagai novel yang sangat diincarnya namun tak pernah didapat, sudah siap, rapi dalam bungkus kado. Hadiahku untuknya. Hatiku rasanya dum tek tek alias deg deg ser. Apa yang akan terjadi. Seperti apakah nanti pertemuan kami ini.
“Hi, maaf. Sudah lama menunggu ya?”
Aku mengangkat kepalaku melihat asal suara manis itu. Seorang gadis bersweater merah jambu dengan pita AIDS. Wajah yang sering aku lihat di profile twitter dan bbm itu kini berdiri di hadapanku. Senyum manis di bibir yang diolesi lipstik warna cerah itu membuatnya semakin cantik.
Aku segera berdiri dan mempersilakannya duduk. Semakin dum tek tek saja rasanya. Aku bingung. Gugup.
“Halo???” tanyanya begitu aku duduk di hadapannya.
“Ah… maaf. Gak kok. Gak lama.” Aku berusaha menutup kegugupanku di hadapannya, namun rasanya sulit, apalagi saat melihat senyum manisnya itu.
“Maaf agak telat. Tadi kena macet di Semanggi. Biasalah, namanya juga Jakarta.” ujarnya.
“Iya… gak apa. Saya aja yang datangnya juga kecepetan.”
Kami terdiam. Lidahku menjadi kelu di hadapannya. Padahal seribu skenario sudah aku persiapkan sejak tadi, tapi kok sekarang…
“Dah makan?” tanyaku
Dia hanya menganggukkan kepalanya. Dan kembali kami terdiam.
“Nin…” dia memanggilku pelan. “Ada yang harus aku tanyakan ke kamu.”
Aku hanya mengganggukkan kepalaku, memperkenankan dirinya untuk bertanya.
“Apa pendapatmu tentang ini?” ujarnya seraya menunjuk pita yang disematkan di sweaternya itu.
“Maksudnya? Itu pita tanda peduli AIDS kan?”
“Iya… pendapatmu tentang AIDS itu gimana?”
“Yah… kurang ngerti juga sih. Tapi itu kan penyakit mematikan karena hubungan bebas yang tak seharusnya.”
“Ooooo….”
Dan kami kembali terdiam. Sibuk dengan minuman kami masing-masing. Apa maksudnya dengan menanyakan pendapatku itu? Apakah ada sesuatu?
“Nin, makasih ya.”
“Untuk???”
“Ya.. selama ini menyatakan rindu padaku. Walau belum pernah bertemu sama sekali.”
Ah… ini lagi. Kenapa harus berterima kasih kalau diberi ucapan I miss YOU?
“Kenapa terima kasih? Aku juga gak ngerti maksudnya dengan terima kasih seperti itu.”
“Yah… kalau kamu rindu artinya kamu telah mencurahkan beberapa waktu penting dalam hidupmu untukku. Ya aku berterima kasih untuk itu. Tapi…”
Here we go… the but.
“Tapi… aku minta maaf. Aku gak bisa membalas rindumu itu.”
Aku terdiam. Jadi inikah maksud dari semua itu selama ini? Terima kasihmu, emoticon senyum…
“Kamu… aku…” dia tidak meneruskan ucapannya secara langsung. “Aku tak pantas untuk menerima rasamu itu. You deserve someone better than me.”
“Maksudmu dengan tak pantas? Dan darimana kamu tahu yang lebih baik untukku?”
“Aku… ini…” Dia kembali menunjuk pita itu. “Aku mengenakan ini bukan karena aku peduli. Yah.. aku peduli. Tapi juga karena aku pengidap.”
Aku terkejut mendengar penjelasannya. Dia… mengidap AIDS? Jadi…
“Iya… aku mengidap AIDS. Karena itu… aku yakin kamu pantas mendapatkan yang lebih baik dariku.”
Aku masih terdiam mendengar ucapannya.
“Kalau kamu masih mau berteman dengan pengidap sepertiku… aku sudah senang. Kalaupun kamu ingin menjauh, aku pun mengerti.”
Pikiranku berkelana. Membayangkan dirinya yang manis itu dan terlihat lugu dalam kondisi…. ah… mana mungkin gadis seperti dia.
***
Noni POV
Aku beranjak meninggalkan meja itu. Meninggalkan Nino yang masih dalam keadaan terkejut mendengar ucapanku soal AIDS tadi. Sejak awal aku sudah menanamkan pada diriku sendiri untuk tak berharap banyak. Bahkan pacarku, yang telah menemaniku 5 tahun langsung pergi meninggalkan setelah tahu aku mengidap penyakit ini.
Aku sudah memupus semua harapanku atas nama cinta. Seorang pengidap sepertiku sepertinya memang tak cukup pantas mendapatkan seseorang untuk pendampingku, walaupun hati ini juga telah terpikat pada Nino sejak dekat di twitter itu. Aku menunggu taksi yang akan membawaku pulang. Kembali dalam kenyataan hidupku.
‘Aku memang tak pantas untukmu. Ingin hatiku berteriak bahwa aku juga merindumu. Tapi… biarlah diri ini sendiri.’
Aku mengetikkan itu di twitter-ku begitu aku duduk di dalam taksi. Semenjak kesalahan rumah sakit memberi tranfusi darah, hidupku ini memang sudah tak sama lagi. Hanya mereka yang benar-benar menyayangiku yang tetap ada di sisiku.
‘Mungkin suatu hari nanti, akan datang pangeran berkuda untuk diriku yang tlah ternoda.’
12 Comments
Miss u juga Ryan. Lama nggak mampir dimari ^^
Sama mba. Dah lama gak ke mba nih. Ahhh. Kangennn
sedih sekali saat kesalahan satu pihak membawa konsekuensi tak mengenakkan -seumur hidup- bagi diri kita…
Hiks.
Makasih mas *nangis di pojokan*
kasian cewenya, cakep2 kena penyakit kaya gtuan :’)
Iya. Bukan keinginan ataupun salah dia juga.
Penyakit yang mengerikan….naudzubllahhimindalik. Kasihan bener ceweknya pasti merana seumur hidup tuh.
iya.
apalagi pikiran negatif tentang penyakit itu sendiri dah buruk. padahal belum tentu semua seperti itu
ahh itulah kenapa aku nggak suka Rumah Sakit 🙁
Waduh… jangan dong.
gak semua seperti itu kan. lagian ini hanya fiksi kok. 🙂
iya sebisa mungkin menjalani pola hidup sehat biar nggak harus ke rumah sakit hihiiii…
Kalau itu sih setuju