Disclaimer: tulisan ini merupakan tulisan yang saya update dari tulisan asli di blog saya pribadi, ryanfile.blogspot
Bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar dan suka ngopi, siapa yang tak kenal cappuccino. Cappuccino berasal dari Italia, merupakan kopi espresso yang dicampur dengan susu dan disajikan dengan foam susu di atasnya. Berasal dari kata “Capuchin” atau “Small Cup” (sumber: Wikipedia). Dari segelas ini saja, banyak yang bisa dipelajari – Cappuccino Kehidupan.
Secangkir Kopi Inspirasi
Yang saya ingin tuangkan di dalam tulisan saya kali ini adalah apa yang saya tangkap dari sebuah cappuccino. Yup… entah dari mana dan kapan… suatu hari di sela-sela kegiatan rutin saya di pagi hari itu, saya mendapatkan ide mengenai sebuah cappuccino. Sebuah inspirasi kehidupan dari secangkir kopi.
Cappuccino dibuat dengan indahnya di setiap cangkirnya… bisa kalian lihat di foto yang saya sertakan. Nikmat. Indah. Menarik. Itulah cappuccino. Saya selalu terpesona dengan sebuah cappuccino walau setiap hari saya meminumnya.
Apakah saya ingin segera meminumnya? Tidak. Itulah keindahan cappuccino. Dia mampu membuat kita tak segera menikmatinya. Padahal cappuccino itu sangat enak kalau diminum panas. Kenikmatannya di sana.
Kalau beberapa orang suka meminumnya langsung, maka saya lebih suka dengan tradisi saya pribadi… yaitu menghabiskan foam susu di bagian teratasnya itu. 😀 setelah itu barulah saya akan nikmati teguk demi teguk kopi di bawahnya.
Nah, apa sih yang saya dapatkan secara tiba-tiba tentang cappuccino ini? Bahwa cappuccino itu tak lebih seperti hidup kita loh.
Secangkir Cappuccino – Indah
Terkadang hidup kita itu indah sekali di hadapan seperti keindahan secangkir cappuccino. Ditata dengan indahnya di sebuah cangkir untuk memenuhi kebutuhan mata. Itulah hidup.
Yup… hidup itu indah loh. Kita lahir, dibesarkan dengan penuh kasih sayang, tumbuh, berkenalan dengan teman-teman, terus bertambah teman, dan setiap harinya ada saja yang mengagumkan dari sebuah hidup. Udara yang kita hirup. Mentari yang menyinari kita. Hujan yang menemani kita saat sedih. Indah.
Tapi…. Itulah keindahan di mata. Sedangkan untuk menikmati secangkir cappuccino, kita harus menyesapnya seteguk demi seteguk. Bukan dilihat saja sedetik demi sedetik kan? Kita harus menggunakan indra pengecap kita.
Nah… untuk dapat lakukan itu, secangkir cappuccino harus diaduk – karena terlalu pahit jika dinikmati langsung tanpa gula – kecuali oleh mereka yang sangat menyukai kopi pahit. Dan kalau sudah mengaduknya, tentulah kalian tahu apa yang terjadi. Keindahan tatanan cappuccino menjadi rusak. Keindahan yang dihadirkan di hadapan kita tadi menghilang bersama dengan adukan kita.
Itulah hidup. Bahwa keindahan hidup itu terkadang diaduk terlalu banyak sehingga terlihat sekali ketidakindahannya bagai kita. Tapi sebenarnya siapa yang mengaduknya? Siapa yang bertanggungjawab atas ketidakindahan itu?
Tak lain dan tak bukan adalah KITA. Yup… diri kita sendiri yang mengaduknya dengan kuat atau terlalu cepat sehingga keindahan itu menjadi tumpah ke mana-mana atau sangat-sangat tak menarik untuk dilihat. Namun, seringkali kita akan berteriak, laiknya kita berteriak kepada pelayan coffee shop, berusaha menyalahkan mereka karena ketidakindahan yang sekarang muncul di hadapan kita. Siapa saja di dalam hidup kita sering kita teriaki untuk dipersalahkan atas ketidakindahan hidup kita sendiri. Betul?
Cappuccino nan PEKAT
Nah, kalau sudah rusak keindahannya, kita seringkali lupa esensi dari sebuah cappuccino. Bagi beberapa orang, karena tidak indah, mereka enggan untuk menyesap cappuccino itu. Padahal di sanalah esensi dari sebuah cappuccino.
Saya, seperti yang saya katakan tadi, lebih suka menikmati foamnya. Lembut. Manis karena terkena taburan gula. Seperti itu pula saya suka menikmati hidup. Mencari yang manis-manisnya. Mencari yang mendatangkan kelembutan dalam hidup. Saya baru menyadari itu beberapa minggu lalu. Dan semakin dipikirkan… ternyata memang hidup saya sendiri seperti sebuah cappuccino.
Dan saya yakin, bukan hanya saya. Banyak yang seperti saya. Setelah melihat ketidakindahan dalam hidup, mereka ingin mencicip yang manis – yang menyenangkan lidah mereka. Mereka mencari hal-hal yang menurut mereka mampu membuat mereka melupakan ketidakindahan hidup. Namun, seperti cappuccino, foam itu hanyalah sepertiga cangkir – akan habis dengan cepat jika kita nikmati terus menerus.
Saat foam itu habis, kita hanya akan dihadapkan pada secangkir kopi yang dicampur dengan susu. Itulah hidup sebenarnya… bahwa setelah segala yang manis lewat, kita akan dihadapkan pada kenyataan hidup sebenarnya.
Kopi itu pahit dan hitam pekat. Tapi susu membuatnya tak sepekat aslinya. Nah seperti itulah hidup. Bahwa sebenarnya hidup tidaklah pekat benar. Bahwa hidup tidaklah segelap yang kita pikirkan karena ada susu di dalamnya. Susu ini bisa teman, keluarga, pekerjaan, apa saja dalam hidup kita yang mampu mengurangi kepekatan hidup kita.
Mereka adalah pewarna dalam hidup kita. Kalau dalam cappuccino hanya ada susu berwarna putih yang mengurangi kepekatan kopi, dalam hidup, kita justru lebih beruntung. Kita memiliki berbagai warna dari sekitar kita. Hanya saja terkadang kita perlu melihat dari sisi berbeda.
Cappuccino Kehidupan yang Penuh RASA
Setelah menikmati tampilan campuran cappuccino, yang dapat kita lakukan hanyalah satu. Menikmatinya. Menyesapnya sedikit demi sedikit dan menikmati kopi itu. Itu juga dalam hidup. Dengan segala campuran yang ada di dalamnya, yang perlu kita lakukan hanya satu. Menikmatinya. Sedikit demi sedikit atau langsung… itu pilihan kita sendiri.
Nah, saya menyukai kopi yang tak benar-benar manis. Dan cappuccino dengan dua bungkus gula rendah kalori itu sangat pas bagi saya. Masih dapat saya rasakan pahit di ujung lidah saya saat saya menyesap cappuccino di hadapan saya itu. Dan ada pula manis di dalamnya.
Bagi saya itulah yang pas. Itulah hidup. Tak selamanya akan manis tapi juga tidak sepenuhnya pahit. Jadi kombinasi keduanya. Kombinasi inilah yang mengingatkan saya bahwa hidup itu memang unik. Bahwa akan ada saat-saat di mana hidup saya akan berat (baca: pahit) dan akan ada saat-saat hidup saya akan indah (baca: manis).
Kalau terlalu manis, bagi saya akan membuat saya over, layaknya seorang anak diberikan gula di kala malam, mereka akan mendapatkan sugar rush. Bukannya mereka tidur malah akan membuat mereka menjadi lebih aktif lagi. Berlebihan manisnya akan membuat saya eneg dan merasa mual pada akhirnya.
Sedangkan terlalu pahit hanya akan membuat saya terlalu depresi, bisa-bisa hidup di RSJ. tapi.. kalau kita menikmati pahitnya dan juga manisnya cappuccino, itulah yang pas menurut saya menggambarkan hidup.
Dan lebih pas lagi adalah saat menyadari bahwa manisnya cappuccino ada di tangan kita. Bahwa… kita yang memegang kendali atas seberapa manisnya secangkir cappuccino di hadapan kita itu. Seperti itu pulalah kita yang memegang kendali atas manisnya hidup kita.
Yup… kita yang menentukan berapa sachet yang kita ingin tambahkan dalam cappuccino kita itu. Seperti itu pula, hidup kita, kita yang tentukan. Seberapa manis hidup kita akan kita lalui. Pengalaman beberapa bulan belakangan ini semakin membuat saya menyadari itu. Bahwa… semua memang ada dalam kendali kita. Bila kita memikirkannya sebagai suatu beban berat, hidup akan menjadi beban terberat yang kita impikan – dan jangan salahkan jika banyak dari mereka yang akhirnya mengakhiri hidup mereka.
Tapi kalau kita memikirkannya sebagai sebuah perjalanan panjang, di mana akan ada bitterness and sweetness along those journey…. Hidup akan menjadi sangat indah. Pas menurut saya. Pas selaiknya secangkir cappuccino hangat dengan 2 sachet gula di hadapan saya ini.
Ah… nikmat… secangkir cappuccino panas yang sedari tadi menemani saya menuliskan ini.
Cappuccino Kehidupan
Itu panggilan saya untuk secangkir kenikmatan di tiap pagi hari saya sekarang. Saya sendiri bukanlah orang hebat dan orang pintar dengan segala pengalaman. Tapi saya mulai memahami bahwa saya memang mengendalikan kehidupan saya. Ke mana saya melangkah, saya yang tentukan.
My life is in my hand. My very own hand. Setiap orang yang saya temui, setiap kejadian yang saya alami, semua adalah pengalaman terindah dalam hidup saya. Mencintai seseorang. Membenci seseorang. Menolong seseorang. Melukai seseorang. Dan sebagainya. Semua adalah pengalaman. Pengalaman kehidupan yang bisa kita atur manisnya. Ataukah ingin kita nikmati dalam pahit? Pilihannya di kita. Namun yang pasti, saat kita memilih, bertanggungjawablah untuk itu.
Ternyata banyak sekali yang bisa dipelajari dari capuccino ya mas Ryan. Jadi manusia memang harus detail ya. BIasanya kalau liat capuccino langsung kuminum saja…*introspeksi*
Hahaha… gak apa sih kalau mau langsung minum. Kemarin dulu itu sih lagi kepikiran aja. Pikiran saya emang suka ngerandom.
Pintar sekali Mas, dari cappuccino pun kita ternyata bisa belajar ya. Super. Saya sudah lihat postingan ini di rumah asalnya lho. Iseng-iseng masukin alamat blognya Mas Ryan dengan blogspot dan ketemunya ini :haha.
Setuju, dari apa pun kita bisa belajar. Masalahnya apa kita mau belajar, atau membiarkannya berlalu begitu saja?
Hahaha. Dah diubah dr yang rumah aslinya. Hehehe. Dipotong beberapa kalimatnya.
Nah. Itu. Mau belajar apa gak?
Mau belajar. Tapi apakah bisa terus mau untuk belajar?
nah itu mah dirimu sendiri yang bisa jawab
Iya yah, cappuccino lebih pekat daripada americano.. 😀 *dibahas*
Hahaha. Padahal americano pure kopi doang. Cm encer dia.
jika kopi adalah kehidupan, maka terserah kita mau dibuat semanis atau sepahit apa kopi yang ingin kita nikmati
Iya mas. Jadi mau manis atau yang pahit mas. Atau sedang2 saja *dangdutan pagi*
Manis pahitnya hidup adalah KITA yang menentukan. Bagaimana cara KITA mengahadapi persoalan dalam hidup, mau dibuat manis atau pahit, gitu yah Ryan 🙂
Tapi kalau capuccino asli aku nggak pernah bisa minumnya, sedikit saja kena kopi/capuccino pasti langsung muter nih kepala hiksss
Wah. Not a coffee person ya Ke?
Iya Ke, semua di tangan KITA sendiri. Dengan kerja keras dan doa pasti bisa.
hhmm begitu deh 🙂
Yes, doa dan ikhtiar, karena nggak ada doa yang nggak di dengar dan nggak ada usaha yang nggak ada hasilnya, hanya ajah butuh waktu untuk bersabar 🙂
Setuju saya. Setuju.
artinya kehidupan ini adalah milik kita sendiri, kita lah yang menentukan arahnya, dan kita sendiri lah yang bertanggungjawab atas segala pilihan kita…
oke Mas, semangat terus menebar kebaikan ^^
Iya Mbak Ninik, kehidupan milik kita, kita yang mengatur mau seperti apanya – dengan ijin Yang Kuasa tentunya.
Makasih Mbak sudah mampir dan komen
jadinya filosofi capuccino nih hehe
Hahahaha. Kira2 seperti itu Mbak Noni.