Artikel – 140113 – Seberapakah Cukup Itu?
“Say enough when it’s enough..”
Salah satu yang diajarkan kepada kita sejak kecil adalah untuk selalu menghabiskan makanan di piring kita sebersih-bersihnya, yah setidaknya itu sih yang diajarkan di keluarga saya. Kalau tidak habis pasti mama akan berkata: ‘dihabiskan. Sayang itu nasinya. Dewi Sri pasti nangis kalau gak dihabiskan. Dah gitu, banyak di luar yang gak makan. Kamu tuh harusnya bersyukur. Jadi habiskan.’
Yah… mama dengan caranya selalu mengingatkan saya. Sampai-sampai pas saya berkunjung ke rumah teman SMP dulu, saat belajar bersama, diomelin sama teman. Duh, jangan dihabiskan. Dia pun memindahkan sedikit nasi dari piringnya ke piring saya yang sudah tandas. ‘di sini tidak boleh itu piring bersih banget.’ Tapi tetap sih, yang disisakan di piring itu hanya sedikit nasi saja.
Karena kebiasaan seperti itulah, akhirnya lama-lama saya terbiasa untuk mengambil makanan secukupnya, takut gak habis. Toh kalau memang belum kenyang, nanti bisa ambil lagi kan? Daripada membuang-buang makanan.
CUKUPKAH KAMU?
Saya bukan ingin membahas kebiasaan makan di rumah saya kok. Tapi membahas CUKUP. Dalam hidup ini, kita akan selalu berusaha mengejar sesuatu (bacanya sambil nyanyi ya). Sampai-sampai ada kalanya kita mengejar hal-hal itu, tanpa menyadari apa yang sudah kita miliki.
Karena itu.. sudah cukupkah kamu?
Seberapa sih arti CUKUP dalam hidupmu saat ini?
Apakah karirmu saat ini sudah cukup? Ataukah masih banyak level karir yang ingin kau raih?
Apakah penghasilanmu sudah cukup saat ini? Ataukah masih kurang?
Masalah cukup ini, rasanya takkan pernah habis kalau dipikirkan. Kita selalu merasa masih kurang dan kurang dan kurang. Akhirnya kita mengejar lagi, lagi dan lagi.
Pertanyaan berikutnya adalah: Sampai kapan?
TETAPKAN
Menjawab pertanyaan sampai kapan di atas, takkan ada jawabannya jika kita tak pernah menetapkan di awal. Menetapkan arti CUKUP itu sangatlah penting. Karena jika tidak, kita takkan pernah merasa cukup. Contoh nyata dalam hidup saya adalah saat saya lulus SMEA dan bekerja di salah satu franchise ayam goreng dari America. Saat itu saya mendapatkan gaji Rp 450.000 per bulan + uang makan dan transport Rp 3.000 per hari.
Kalau diingat-ingat, uang itu manalah berarti. Kecil banget kan? Itulah yang terjadi. Karena saya merasa kurang, akhirnya uang itu pun setiap bulannya selalu habis. Dibandingkan dengan sekarang yang sudah berlipat-lipat, seharusnya saya sudah CUKUP. Tapi nyatanya masih saja merasa belum cukup.
Inilah yang membuat saya berpikir hari ini. Bahwa kita, manusia, tak pernah merasa cukup bukan karena sifat kita yang ingin lebih terus. Tapi lebih karena tak pernah sekalipun menetapkan standard cukup kita. Gaji saya yang sudah berkali-kali lipat itu pun belum cukup karena saya tidak menetapkan standard cukup saya. Padahal, saat ini, saya sudah memiliki lebih dari saat saya lulus SMEA itu sendiri.
STANDARD CUKUP
Jadi… pertanyaan sekarang, bagaimana standard cukup menurutmu?
Setiap orang dapat berbeda-beda. Kecukupan seseorang dapat dilihat dari beberapa sisi. Dari materi. Dari rohani. Dari sisi keluarga. Dari sisi pekerjaan. Tetapkan standardnya dari sekarang. Saya juga takkan memberi standard di sini kok. Semua kembali lagi ke masing-masing pribadi.
Tapi menurut saya, standard itu hendaknya dibuat selaras dengan tujuan hidupmu. Kalau tidak, tujuan hidupmu (VISI) itu takkan pernah tercapai. Saya sekarang ini menggunakan resolusi awal tahun baru sebagai standard kecukupan saya.
Dan setiap hari, selalu berusaha bersyukur atas hidup yang saya dapatkan sekarang. Hidup saya ini sudah sungguh lebih dari cukup bila dilihat oleh orang lain. Tapi, yah, bukannya tak bersyukur, hanya saja saya memiliki standard kecukupan yang berbeda dari orang lain. Itu saja kok.
Bagaimana denganmu? Apa hidupmu sekarang ini sudah CUKUP?
Ryan
140113 0800
yah itulah manusia, selalu merasa ingin lebih dan lebih lagi … disatu sisi, itu baik untuk membuat manusia itu lebih maju dan maju lagi, tetapi jika tidak bisa mengendalikan, justru hidup kita yang dikendalikan oleh keinginan … bersyukur, rasanya itu cukup efektif untuk mengimbanginya …. 😀
keseimbangan antara bersyukur dan keinginan ya Pak…
sepertinya memang menjaga keseimbangan ini yang penting. Sulit tapi dapat dlakukan ya
cukup bagiku sih penghasilan yg kita dapatkan klo dah senisob yg keluarin zakat. lalu infak. belanja harian. dan nabung Ryan.
klo blm senisob yang zakatnya aja yg ditinggalin.
wah..
dapat pemahaman baru lagi nih saya.. makasih ya.
Cukup itu relatif. Standard-nya apa? Tentunya musti disinkronkan dengan keinginan atau kebutuhan kita. Mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan, tapi lebih sering kurang bila harus memenuhi keinginan. Bingungi ya? hehe
Betul Pak. Cukup itu relatif.
Dan setuju kalau dikaitkan dengan kebutuhan. bukan keinginan.
Keinginan itu takkan pernah ada habisnya.
Tapi kalau kebutuhan juga tidak di-standard (dibatasi), ujung-ujungnya bisa tidak cukup juga pak. Apalagi masih banyak rancu antara keinginan dan kebutuhan ini.