Serial reality show yang sedang saya suka belakangan adalah My Kitchen Rule. MKR ini ajang masak juga kayak Masterchef, tapi berpasangan. Salah satu yang uniknya adalah orang datang ke rumah peserta, di mana peserta yang masak menyiapkan konsep restoran mereka dan memasak makanan pembuka, utama dan penutup.
Di season 8 ini, ada satu pasangan yang agak-agak menyebalkan. Pasangan Josh dan Amy. Suami istri yang mana sang suami sering kali mengatakan kalau dia (mereka) adalah ahli masakan laut – king of seafood. Pernah bahkan sang istri marah-marah karena “kesombongan” Josh.
Hingga akhirnya, mereka tereliminasi. Satu yang saya tangkap dari mereka ini adalah….
Jangan Berlebihan
Iya, jangan berlebihan atas apa yang kita punya. Apa yang kita miliki – entah itu kemampuan ataupun kekayaan. Seperti yang dilakukan Josh. Setiap ada kesempatan, dia akan mengatakan kalau dia bisa memasak makanan hasil laut yang dibuat peserta lain, dengan lebih baik.
Sering!!!
Gak hanya sekali dua kali.
Okelah… mungkin memang dia “ahli” atau “pakar” karena selama ini juga dia berhasil membuat masakan hasil laut untuk hidangan keluarganya dengan baik.
Tapi…. kenyataannya, beberapa kali dia kalah dibandingkan peserta lainnya dalam mengolah hasil laut. Entah memasak udang terlalu lama atau bumbunya kurang. Yang terakhir, yang membuat mereka tereliminasi adalah kuah Seafood Bisque mereka yang seperti sup sayuran (dalam hal ini ubi).
Padahal namanya Bisque harusnya kuah kaldu hasil laut yang penuh rasa laut kan.
Harus Gak Sih?
Saya terpikirnya gini pas nonton…
Harus gak sih kita, menjual diri kita sedemikian rupa dengan ucapan-ucapan seperti Josh?
Mengatakan kalau menjadi ahli atau pakar tertentu tapi kemudian gak membuktikannya.
Ini juga yang beberapa kali saya pernah bahas sama beberapa orang. Terkait juga branding kan untuk yang satu ini?
Ada yang ngebranding diri sedemikian rupa menjadi ahli x y z. Entah itu di sosial media ataupun di blog atau di mana pun.
Apakah memang harus gitu ya?
Apa ini juga penyebab saya itu “gagal” dalam dunia blogging kayak gini – karena enggan membranding diri sedemikian rupa kayak gitu?
Salah gak sih kalau gak ngebranding kayak mereka? Saya selalu sebut diri sebagai blogger Indonesia. Gitu aja. Gak mau pakai embel-embel apapun. Kayak misalnya, travel blogger Indonesia terbaik, atau lifestyle blogger terbagus dan lainnya. Termasuk nyebut diri sebagai “so called ahli SEO”.
Ucapan atau Hasil?
Dalam hal Josh, hasil masakannya itu sangat jauh dari apa yang dikoar-koarkan. Jauh banget…. sangat jauh bahkan sampai nilai mereka saat itu jadi nilai paling rendah – 31 doang. Padahal yang lain saat itu dapat nilai di atas 60-an.
Apa kita perlu juga ngebranding seperti Josh? Ataukah lebih baik tunjukin hasil aja?
Tapi gimana kalau hasil yang menurut kita bagus, ternyata gak bagus buat yang lainnya? Berarti kita gak akan bisa ngebranding dengan baik dong?
Terus gimana? Ah… pusing ya.
Ini cuma sebatas pikiran random saya aja sih…. iseng pagi-pagi buta belum bisa tidur. Daripada lupa, ya mending nulis aja. Emang bener sih, jangan berlebihan – dalam hal apapun. Lebay itu gak bagus kan?
Kalau menurut kamu gimana? Perlu gak sih branding diri dengan ucapan siapa dirimu? Atau lebih nunjukkin hasil? Terus seperti apa yang menurutmu yang bagus? Jangan berlebihan versimu kayak gimana gitu… kasih tips dong.
saya mau coba meninjau dari segi entrepreneurship. era digital ini jelas memungkinkan para pelaku usaha melakukan marketing dengan cara yang berbeda dari cara konvensional, dan potensinya besar. salah satu ciri utama marketing di dunia digital adalah dengan terus exist, terutama di media sosial macam facebook dan instagram. semakin sering pelaku usaha exist, semakin besar kesempatan untuk menggaet calon pelanggan. percuma kalau punya produk yang bagus, tapi tak pernah exist.
cara untuk exist itu sendiri tidak harus dengan koar2 dan mengklaim bahwa dirinya yang terbaik. cukup tunjukkan bahwa dirinya “ada”, dan lakukan terus-menerus secara konsisten. jangan lupa untuk selalu “engage” dengan pelanggan dan komunitas agar semakin dikenal baik.
*sedikit teori yang kupelajari*
Mantap mas itu…
Saya suka banget. Setuju kalau memang dalam era digital perlu exist dan bisa kita lakukan dengan memberi bukti daripada koar2 ya. Makasih banyak mas.
Kebetulan ejie orangnya ngalir aja, mas Feb. Entahlah branding kalau dibikin sengaja pun, ejie ga paham. Ya maklum Kan, cuma doyan nulis. Kan mas nya tauuuu.. weewhwhwh
Ejie itu hitchhiker traveler… hehehe. Dan… fotomu itu loh, bikin orang mikir dirimu cowok. hahaha. apa itu aku doang ya?
ehh, tentang foto, sepertinya banyak yang mengira ejie ini cowok.
yak amfun, harus branding cewek teh kumaha atuh, mas? -_-
Hahahaha. ya ganti gambarnya aja Jie. Pakai avatar yg jelas kalau kamu itu cewek.
aku adalah aku tapi bukan yang terbaik, gitu mas caraku branding.
jadi kamu itu adalah….
Entahlah, saya juga sering mengalami konflik semacam ini. Sering ngerasa kalo belum pantas “jual diri” sampai segitunya. Mungkin efek rendah diri? Hahaha. Have no idea. Beberapa ada yang “bisa ngeliat” kalo sebenarnya saya bisa. Tapi seringnya, banyak yang berlalu karena saya ndak berani tampil dan berakhir dengan tidak dihiraukan dan dianggap biasa.
sama kita mas Nuno…. mungkin memang bawaan masalah rendah diri. I don’t feel I am capable enough dan takutnya malah akan bikin orang lain “celaka”. Gimana ya enaknya mas?
Thank’s Mr.
You’re welcome