Sudah sering terpikir masalah ini. Sejak awal saya sering mengatakan kalau saya ini bukan influencer. Saya ini blogger yang suka menulis di blog dan juga social media, tapi jangan sebut saya buzzer ataupun influencer.
Bukan… Bukan karena sekarang lagi rame masalah buzzer yang diangkat terus-menerus di Twitter. Namun, sejak awal memang saya gak mau dianggap sebagai keduanya.
Ada beberapa alasan sampai saya selalu begitu – jangan sebut saya influencer atau buzzer.
Alasan “Jangan Sebut Saya Influencer”
Sekalipun, suatu saat nanti, follower di social media saya itu puluhan ribu, saya tetap gak mau disebut sebagai influencer ataupun buzzer. Itu karena beberapa alasan berikut:
Saya Belum Bisa Mempengaruhi Orang Lain
Ini kenyataan yang saya rasakan kok. Buat saya pribadi, influencer itu adalah orang yang gak hanya punya follower tinggi. Bukan juga masalah tingginya Engagement Rate postingan mereka.
Namun, influencer itu adalah mereka yang bisa memberi influence alias mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu.
Coba saja cek artikel luar soal hal ini, definisi influencer dituangkan di sana. Kalau boleh saya rewrite dalam bahasa Indonesia ya kira-kira gini:
Influencer adalah orang yang bisa mempengaruhi orang lain dalam mengambil keputusan terkait pembelian, yang disebabkan oleh autoritas, pengetahuan, ataupun hubungannya dengan para followernya.
Diterjemahkan bebas dari Influencermarketinghub.com (link di atas ya).
Iya, menurut saya sih tetap, kunci dari seseorang berhak dipanggil “influencer” itu ya, karena dia bisa mempengaruhi tindakan para followernya.
Selain itu, di sosial media, saya tuh gak punya autoritas, pengetahuan ataupun hubungan yang baik dengan follower seperti yang disebutkan di definisi di atas kok. Jadi pas dong ya, kalau saya bilang: jangan sebut saya influencer.
Misalnya, untuk ikutan sebuah kegiatan. Influencer yang baik, bisa share info soal kegiatan ini dan berhasil mengajak para followernya untuk ikut kegiatan tersebut.
Jadi real engagement di sini tuh lebih ke aksi berikutnya. Entah aksinya itu aksi di dunia nyata atau di sosial media juga. Gak hanya engage sebatas like dan komen di post tersebut.
Inilah yang bikin saya selalu bilang: “Jangan sebut saya influencer”.
Saya Lebih Suka Berbagi – Bukan karena Saya Buzzer ataupun Influencer
Sekalipun sesekali saya posting soal brand ataupun informasi terkait suatu brand tertentu, itu hanya karena:
Saya merasa informasi itu penting diketahui orang banyak dan bagus untuk dishare.
Itu aja. Karena prinsipnya, saya selalu suka menyebarkan informasi yang baik ke orang lebih banyak. Namun, bukan berarti saya itu buzzer ataupun influencer dari brand tersebut.
Contohnya saja, tulisan soal Cinemaxxx ataupun Go Massage di blog ini. Kedua tulisan itu saya tulis karena memang saya suka membagi informasi tersebut. Toh, keduanya, menurut saya pribadi, informasi yang pantas disebarluaskan.
Saya gak suka juga disebut buzzer, karena memang saya bukan buzzer yang “melakukan kewajiban” saya doang. Bahkan tanpa research terlebih dahulu soal info yang akan dibagikan.
Kalau misalnya, topik yang akan diangkat bukan “GUE BANGET”, sudah pasti saya gak akan lanjutkan.
Atau misalnya, di luar sana banyak info yang beda. Saya malah akan lebih ngangkat masalah itu. Bagaimana kegiatan saya membagi informasi ini bisa menjawab atas masalah tersebut.
Menurut saya, tanggung jawab seorang buzzer ataupun influencer itu gak sebatas mem-posting saja.
Tapi juga memastikan informasi yang diberikan benar dan juga bermanfaat bagi yang baca.
Cukup Pengalaman Gak Enak
Pernah suatu hari, saya dapat undangan untuk ikut sebuah acara.
Acara itu sendiri dihadiri oleh banyak orang (blogger, buzzer, influencer – apalah sebutannya ya). Nah, seperti biasa, sebelum berangkat, saya akan research dulu segala terkait acara ini.
Dari sana saya tahu adanya pembicaraan ramai terkait acara ini dan penyelenggaranya. Dari awal, saya sudah terpikir menulis juga soal hal ini dan pendapat si penyelenggara terkait pembicaraan di digital tersebut.
Si penyelenggara sih oke-oke aja. Namun, salah seorang senior berkata:
Kita sudah dibayar, jadi ya sudah seharusnya kita menulis yang baik-baiknya saja.
Saya mendengarnya dan merasa cukup kaget saat itu. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk tidak sama sekali mau dipanggil oleh orang itu – jika ada undangan. Karena, memang rupanya kami berdua beda pendapat dan pola pikir terkait hal ini.
Sejak itu juga, saya bukan buzzer ataupun influencer. Karena saya memang bukan tipikal orang yang seperti mereka kebanyakan.
Cukup Ya Curhatannya
Ah udah ah. Cukup sampai sini saja curhatannya. Sedari tadi itu bingung banget mau nulis apa. Sampai akhirnya, menulis masalah ini. Kembali lagi, ini sih pemikiran saya doang ya.
Mungkin juga justifikasi doang atas pilihan saya selama ini. Namun, setelah baca artikel makcar soal dosa para ‘artis’ ini. Makin deh saya merasa gak mau menganggap diri sebagai influencer.
So, please… Jangan panggil saya influencer ataupun buzzer. Hehehe.
Kalau kamu sendiri, gimana? Kamu itu influencer kah?