Langkahku terpekur menatap jalan di hadapanku. Aku kini dihadapkan pada jalan bercabang. Mana yang harus aku pilih? Sedangkan keduanya bukanlah jalan yang sudah aku pernah tempuh. Aku tidak tahu sama sekali ke mana kedua jalur itu akan membawaku.
Ke mana aku harus melangkah? Aku ingin sekali menemukan rumah, rumahku. Mana jalan yang akan membawaku ke rumah itu?
Menemukan Rumah
Aku teringat sebuah lirik lagu lama dari Victor Vandross, A House is Not A Home.
And a house is not a home
When the two of us are far apart
And one of us has a broken heart
Well, okay, lirik lagu itu adalah lagu cinta – lagu patah hati tepatnya. Tapi kalimat a house is not a home, entah kenapa menjadi pusat pikiranku belakangan. Dan karena itu jugalah aku berdiri di sini, di pertigaan jalan ini.
Aku pun terduduk di ujung jalan. Memandangi dua pilihan jalan yang bisa kupilih.
“Kenapa kamu duduk di sana, anak muda?”
Tiba-tiba aku mendengar suara serak di samping kananku. Seorang kakek tua dengan tongkat penggembala sudah berdiri di sampingku. Janggut dan rambutnya berwarna sama, putih. Bahkan pakaian yang dikenakan pun berwarna senada. Kalau saja tidak ada rumbai warna-warni di sepanjang jubahnya, aku pasti sudah mengira dia ini Tuhan.
“A… aku…”
“Kamu kenapa anak muda? Tenanglah, aku bukan penjahat. Lagipula, dengan tubuhku yang renta ini, kamu bisa dengan mudah menjatuhkanku kalau aku ingin merampokmu.” ujarnya.
Aku terdiam. Kakek ini bisa membaca pikiran, batinku.
“Tidak, aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiran orang lain. Aku hanya berpikir logis. Dua orang asing bertemu di satu tempat sepi. Pengalamanku jauh lebih banyak darimu, anak muda. Kamu bukanlah orang pertama yang berpikir seperti itu padaku.” Kakek itu kembali menampilkan ompongnya dan kemudian menjulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.
Aku, entah kenapa, tidak ragu menerima uluran tangannya dan berdiri. Sambil membersihkan celana jeans biru belelku dari pasir, aku pun menjelaskan, “Aku bingung kek. Di depan ada dua jalan. Aku tidak tahu harus ke mana.”
“Lah, memangnya kamu itu ingin ke mana, anak muda?”
“Aku ingin mencari rumah, kek.”
“Nah… gampang dong kalau begitu. Jalan mana yang mengarah ke rumahmu?”
“Aku… aku memang mencari rumah, kek. Tapi rumahku (my house) tidak ada di kedua jalan di hadapanku ini. Aku ingin mencari “rumah” (home) untukku.”
Ah… aku pusing sendiri. Dalam bahasa Indonesia yang aku pahami, baik home maupun house diartikan rumah. Bagaimana menjelaskannya ya, batinku.
“Tak perlu kau jelaskan anak muda. Aku paham. Kamu mencari tempat di mana kamu akan merasa nyaman, dan itu bukanlah rumah di mana keluargamu berada. Betul?” Sang kakek kembali menampilkan ompongnya.
Nah kan… dia bisa menebak lagi pikiranku, batinku.
“Wajahmu yang mengatakannya. Kamu bingung menjelaskan rumah dan kamu menyebut dua kali. Aku ingatkan lagi, anak muda, aku sudah lebih pengalaman daripada kamu.”
Mencari Hati
“Anak muda, kenapa kamu merasa kalau kamu harus mencari rumah sekarang ini?” Pertanyaan sang kakek membuatku terdiam.
Aku enggan menceritakan masalah pribadiku. Apalagi pada orang asing seperti dirinya.
“Kalau kamu tidak mau menceritakannya juga tidak apa, anak muda. Aku paham kok.” ujar sang kakek. “Aku tahu dari wajahmu yang menunjukkan keengganan, anak muda. Sekali lagi aku bukan cenayang.”
“Maaf, kek. Tapi… aku merasa ini adalah masalah pribadiku. Yang jelas…” Aku menghela nafasku sebelum melanjutkan, “Aku merasa tidak nyaman di rumah saat ini. Aku merasa kalau…”
“Kalau hatimu sudah tidak ada di sana?”
Aku menganggukkan kepalaku. Kakek itu hanya tersenyum. Entah bagaimana, aku merasa kalau senyumnya itu tulus. Senyumnya agak menenangkan hatiku.
“Anak muda, kalau memang demikian, yang harus kamu lakukan hanyalah satu. Ikuti ke mana hatimu mengarahkan. Jalan mana yang kiranya ditunjuk oleh hatimu?”
Aku terdiam. Sejak aku berada di pertigaan – 30 menit yang lalu – aku sedang berusaha mencarinya. Tapi, entah kenapa, kedua jalan di hadapanku itu tidak membuat hatiku bergetar sekali pun.
“Kalau memang hatimu tidak bicara terhadap kedua jalan itu, artinya itu bukan jalan yang kamu cari anak muda. Berjalanlah lagi. Ambil jalan lain yang ada.”
“Tapi, kek… di depanku hanya ada dua jalan itu. Jalan mana lagi?” tanyaku.
“Selalu ada jalan lain, anak muda. Hanya saja, kamu terlalu enggan melihatnya. Karena jalan yang lainnya adalah kembali ke arah kamu berasal.”
Aku pun terdiam. Kakek itu benar. Aku bisa saja kembali, memutar tubuhku ke jalan tempat asalku, yang artinya akan membawaku ke rumahku kembali. Tapi…
“Anak muda, terkadang, kita membuat keputusan tergesa-gesa hingga melupakan apa yang sebenarnya ada. Mungkin bagimu, saat tadi berangkat, rumah itu bukanlah rumah. Tapi hatimu mengatakan lain. Dia tahu, bahwa rumahmu di sana. Walau saat itu mungkin kamu sedang marah ataupun sedih. Hatimu paling tahu ke mana arah mencari rumah yang kau inginkan.”
Aku kembali terdiam.
Marah dan Sedih
Yah, tak bisa aku pungkiri, aku memang marah. Marah pada keadaan orang sekitarku yang seakan tidak memahami kondisiku. Marah pada diri sendiri yang tidak mampu mengerjakan apapun dengan baik hingga semua orang di sekitarku memandangku iba.
Aku tidak butuh iba mereka. Walaupun aku hanya memiliki satu tangan, aku tidak butuh iba mereka. Aku hanya ingin dihargai sebagaimana orang pada umumnya. Kenapa mereka harus membantuku setiap saat?
Aku sedih karena ibuku lagi-lagi harus menggantikan diriku membersihkan pecahan piringku. Aku tidak sengaja menjatuhkannya. Aku sudah memperkirakan letak meja itu. Dalam benakku, memoriku itu, semua jarak sudah terekam.
Aku tahu kalau meja itu di sana. Hanya saja aku tidak tahu kalau ada yang memindahkan meja karena membutuhkannya untuk podium depan. Kebutaanku hanya membawa kesedihan pada orang di sekitarku. Lalu…
Kalau aku buta, kenapa aku bisa melihat sang kakek?
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Memutar kepalaku. Aku tidak bisa melihat apapun. Seperti biasa, hanya warna hitam yang bisa aku lihat. Jadi… siapa kakek itu?
“Anak muda, setiap hati memiliki rupa sebagaimana si empunya inginkan. Aku hanya membantumu menemukan rumah yang kau inginkan. Sebenarnya sejak awal aku – ya kamu juga, sudah tahu ke mana arah. Tapi…”
Yah… sebenarnya aku sudah tahu ke mana aku harus melangkah mencari – menemukan rumah. Tapi, aku terlalu bodoh hingga membutakan hatiku juga.
Melangkah Pulang
Kudengar derap kaki berlari mendekatiku. Aroma ini… aroma tubuh ibuku. Dia memelukku erat. Aku membalas pelukannya dan menangis di bahunya.
“Maafkan aku ibu. Aku…”
“Tak apa nak. Aku tahu, kamu pasti pulang.” Ibu membelai rambutku pelan.
Dengan pelukan dan belaiannya, aku pun sadar. Bahwa waku sudah menemukan rumah. Rumah yang aku cari selama ini.
***
Tulisan fiksi ini dibuat oleh Senja2 dari perjalanansenja.com untuk blog febriyanlukito.com. Mohon kritik dan saran ya. Jangan sungkan untuk mengunjungi perjalanan senja juga.