Dear Profecers,
Saya ingin menceritakan sebuah pengalaman yang belum pernah saya ceritakan, namun ada dalam catatan harian saya, dan akan terus menjadi catatan di dalam perjalanan hidup dan menjadi kenangan – kenangan hidup.
Saya teringat dulu pernah berkesempatan menjadi relawan mengajar di pedalaman NTT, mengajar anak-anak yang terkebelakang secara sosial dan hidup dalam kemiskinan. kami mengumpulkan mereka dari ladang kering ke ladang kering lainnya, mengajarkan mereka membaca, berhitung karena kami yakin hanya itulah kunci yang dapat membuka jendela dunia. hampir setahun saya berada, kami bekerja keras, bermandikan keringat dan air mata, meyakinkan setiap orang tua betapa pentingnya pengetahuan bagi seorang anak manusia untuk masa depannya. Saya teringat tinggal dirumah keluarga yang sangat miskin namun dia kepala suku, saya membantu mereka ke ladang dan diladang itulah saya melobi beliau untuk mengijinkan anak-anak suku itu belajar dulu sebelum keladang, hingga akhirnya beliau merestui.
Kami tak menyia-nyiakan waktu itu, kami menuntun tangan mereka, menatap mata mereka dan kami ceritakan tentang orang-orang miskin yang menjadi orang-orang besar dalam hikayat perjalanan bumi, dan rupanya mereka sangat terinspirasi. apakah anda tahu? mereka sangat cerdas, bisa membaca dan berhitung dalam hitungan hari bahkan hapalan diluar kepala mereka sangat mengagumkan. inilah sebuah kenyataan bahwa PANDAI dan BODOH itu BUKANLAH TAKDIR, namun sangat bergantung pada usaha.
Saya teringat ketika kami menyelesaikan program itu, kala meninggalkan desa yang gersang itu, sekerumunan anak-anak menghalangi kami, menangis dan menghiba agar kami jangan pergi dan tetap bersama mereka, mereka berjanji akan belajar lebih rajin lagi. para orang tua pun tak kuasa menahan tangis dan kamipun tak mampu menahan haru yang dalam, betapa perjuangan selama ini berbuahkan hasil dan cinta.
Anak-anak itu saya peluk satu-satu dan sambil berlutut saya bilang ke mereka
‘lihatlah ibumu, lihatlah ayahmu, jika kamu mencintai mereka maka berjanjilah pada Tuhan untuk terus belajar, jangan biarkan lagi mereka ke ladang dengan cangkul, kalian harus bisa buat traktor dan bisa buat pengairan, dan itu hanya bisa kalian lakukan dengan terus belajar’.
Tahun 2007 saya pernah diundang mengajar tamu di ITB Bandung, dan ketika usai memberi kuliah saya diminta anak-anak untuk menemani mereka konkow di kafe kampus, karena senangnya saya amini. di kafe itu kami melanjutkan diskusi dan ternyata jauh lebih hangat dari diskusi di ruang kelas. saya tak menyadari ada seorang anak yang terus memperhatikan saya di kafe itu, dan karena dia bukan dari kelas yang saya ajar, maka saya agak mengabaikannya. sejam kemudian saya pamitan karena terlanjur memesan trafel ke bogor dan menolak diantarkan oleh mereka ke Bogor.
Ketika saya sedang berjalan menuju jalan Dago (karena janjiannya di depan Kartika Sari dengan Trafel Cipaganti, anak berkulit coklat tadi mengikuti saya, awalnya saya tidak sadar, namun ketika saya menyadari saya berhenti dan berbalik menungguinya. dengan langkah ragu dia terus berjalan dan saya mendahului menyalami dan menyapa.
Rupanya dia anak itu adalah anak yang dulu pernah bersama saya selama setahun di Desa Oelua, Pulau Rote, Nuta Tenggara Timur. dia sudah snagat besar dan gagah, dia bercerita tentang dia dan teman-temannya yang terus bersekolah dan hampir semuanya sekarang kuliah di PTN dan PTS terkemuka di negeri ini, sedangkan Jose Ndao yang saat itu bertemu saya di ITB (saya lupa nama lengkapnya) adalah mahasiswa jurusan teknik sipil ITB. Saya memeluknya erat dan dia menangis haru, sayapun demikian. waktu itu berikan dia kenangan sebuah ‘sign pen’ dan saya bilang, ini pena untukmu menuliskan seluruh yang kamu pelajari.
Kini anak itu telah kembali ke Rote membangun desanya, dan Jose masih sering mengirimkan surat ke saya menceritakan perkembangan Desanya dan kehidupannya. dia bercerita tentang beasiswa yang dia dapatkan dari pemerintah australia untuk belajar disana.
Sebuah kebanggaan saya hidup di dunia adalah menemui anak-anak seperti ini, dan saya sangat ingin kembali mengajar di pelosok kampung yang tak terjangkau dan membukakan jendela dunia kepada mereka, anak-anak Indonesia, karena mereka berhak atas masa depannya.
Teruntuk sahabatku Jose Ndao..
Rky Refrinal Patiradjawane
Best Regards,
RKY REFRINAL PATIRADJAWANE
Managing Director – Research Insight Indonesia
E : refrinal@research-indonesia.com
_______________________________________
Itu adalah kisah dari salah seorang yang saya kagumi di milis yang saya ikuti. Perjalanan yang mencerahkan.
Pintar dan bodoh bukan takdir. Tapi usaha.
Yup…
Bagaimanapun yang terpenting di dunia ini adalah bagaimana cara kita berusaha. Mendapatkan segala sesuatu yang kita butuhkan/inginkan. Dengan usaha kita pasti kita bisa.
Namun kebanyakan orang menggunakan TAKDIR sebagai alasan. Mereka mengatakan…
‘Ah takdir gw mang sudah seperti ini.’
‘Takdir memang kejam’
Semua mengatakan hal ini sebagai cara pengelakan diri. Atas dirinya, yang dialaminya dan ketidakinginan mendapatkan yang baik.
Usaha itu capek kawan.
Yup capek. Karena itulah banyak yang mengatasnamakan takdir itu.
Tapi….
Seberapa kerasnya.. Seberapa kencangnya kau umpat, kau marahi si takdir itu, semua tak kan berubah kan? Kenapa? Karena kau tak berusaha.
Jadi…
Berusahalah kawan.
Kalau ingin sukses..
Definisikan suksesnya dan buat langkah-langkahnya. Usahakan kesuksesan itu.
Posted with WordPress for BlackBerry.