Disclaimer: Seperti dalam posting tentang Review Film lainnya, Review Film Everest kali ini pun adalah masalah preferensi saya terhadap film yang saya tonton ya. Mungkin sama, mungkin berbeda.
Weekend lalu sempat diskusi dengan seorang teman dan saya sendiri merasakan, sampai saat ini saya belum menemukan standard dalam membuat review film agar lebih objektif.
Saya menonton film ini sebenarnya dadakan, karena diajak sama teman kos yang juga teman galau dan teman pantai. Sabtu kemarin, setelah ketemu dengan salah satu admin BEC yang suka jalan-jalan itu, saya dan teman saya ini ke Hollywood XXI (saya lupa kapan terakhir nonton di bioskop satu ini). Dengan kekuatan Go-Jek, saya pun muter-muter dulu ke daerah Mega Kuningan dan akhirnya ke ramainya bioskop satu ini.
Plot Film Everest 2015
Pada tahun 1996, dua kelompok ekspedisi, yaitu Adventure Consultants yang dipandu oleh Rob Hall dan Mountain Madness yang dipandu oleh Scott Fischer mengadakan pendakian gunung untuk menaklukkan gunung tertinggi di dunia ini.
Kedua kelompok ekspedisi ini saling menolong dalam menghantarkan kelompok yang mereka pimpin untuk sampai di puncak gunung tertinggi ini.
Dengan kondisi alam yang tidak bersahabat, kedua kelompok ini berhasil membawa tim mereka ke puncak (walau tidak semua) ditambah lagi dengan persediaan oksigen yang tidak sesuai perencanaan, perjalanan ini berakhir dengan kehilangan setidaknya 8 kematian (sumber: Wikipedia – Into The Thin Air).
Cast Film Everest 2015
Film ini sendiri disutradarai oleh Baltasar Kormakur, sineas kelahiran Islandia yang sudah terkenal sebagai aktor, sutradara, produser dan juga penulis beberapa film lainnya, antara lain adalah film 2 Guns (2013) dan Contraband (2012).
Dengan bintang utama Jason Clarke (yang merupakan bintang dalam film Terminator Genisys sebagai John Connor) yang berperan sebagai Rob Hall, Jake Gyllenhaal sebagai Scott Fischer, Josh Brollin sebagai Beck Weathers, Keira Knightley sebagai Jan Arnold – istri Rob Hall, Emily Watson sebagai Helen Wilton, dan masih banyak lagi.
Review Film Everest 2015 – Spoiler Alert!
Apa yang diharapkan saat menonton film Everest ini? Setidaknya itu yang harus dipikirkan sebelum memutuskan menonton film ini di bioskop kesayangan kalian sih. Kalau ingin happy ending?
Duh, film yang diangkat dari tragedi nyata tahun 1996 lalu ini gak akan memberikannya kepada kalian. Kalau ingin petualangan, mencari tahu seperti apa sih rasanya mendaki gunung tertinggi di dunia, Gunung Everest, bolehlah ditonton film ini.
Saya sendiri menonton film ini tanpa ekspektasi apa-apa sih. Bagi saya film ini akan seperti film-film ala-ala dokumentasi lainnya mungkin. Tapi ternyata satu hal yang saya dapatkan: Menjadi Pendaki Gunung itu, penuh penderitaan. 😀 Perjuangan banget loh yang harus dijalani oleh mereka yang masuk dalam ekspedisi ini.
Film ini dibuka dengan sebuah tulisan tentang pendakian Gunung Everest ini. Pendaki pertama gunung Everest di tahun 1953, Sir Edmund Hillary dari New Zealand bersama warga Nepal Tenzing Norgay, telah berhasil membuat banyak orang berlomba-lomba ingin menaklukkan gunung ini. Selama 40 tahun terakhir sejak itu, ekspedisi demi ekspedisi pendakian terbentuk dan dilakukan, termasuk yang sering sukses membawanya adalah Rob Hall.
Dengan membawa rombongan (yang di tahun 1996 itu luar biasa banyaknya), Rob Hall membawa kita bahwa mendaki gunung Everest itu adalah perjalanan pendakian penuh derita. Kita bisa menemui berbagai penderitaan, seperti kehabisan udara, halusinasi, bahkan bertemu dengan badai super kejam. Ya memang hidup juga penuh derita ya. 😛
Kisah tentang tragedi tahun 1996 ini bukanlah yang pertama kali dibuat, berdasarkan buku “Into Thin Air: A Personal Account of The Mt. Everest Disaster” yang ditulis oleh Jon Krakauer – salah satu peserta ekspedisi yang dipandu oleh Rob Hall, pernah dibuatkan TV Movie pada tahun 1997. Dan dari sudut pandang si penulis buku ini, terkesan bahwa adalah kesalahan Rob Hall sehingga tragedi itu terjadi.
Drama Pendaki Gunung Everest – Sanggupkah Meninggalkan yang Tercinta Begitu Saja?
Tapi dalam film ini, kita diajak mendalami kisah tragedi itu dengan lebih luas lagi, tidak dari satu sudut pandang saja. Kita juga diajak mendalami perasaan yang dialami oleh Jan Arnold dan Rob Hall di akhir film. Saya pribadi sangat merasakan apa yang mereka alami – dan berhasil membuat saya agak menangis pas adegan telepon-teleponan ini.
Drama yang dilemparkan oleh Knightley dan Clarke ini berasa banget, apalagi kan ceritanya Jan sedang hamil saat itu. Setelah menelepon, Jan digambarkan tiduran di sofa sambil memeluk pakaian Rob – berhasil membuat saya diam hingga akhir film.
Apa Lagi yang Menarik dari Film Everest ini?
Yang sangat menarik dari film ini adalah bahwa film ini berhasil menampilkan Gunung Everest dengan begitu nyata. Walau sebenarnya syuting film dilakukan hanya di kaki gunung Everest – the Italian Alps dan dalam studio di Roma.
Saya sih sempat berpikir kalau menontonnya di layar Ultra XD-nya Cinemaxx ataupun mungkin 4DX-nya Blitz mungkin akan keren abis. Tapi rasanya 3D pun juga dah luar biasa kali ya.
Dari sisi cerita, saya sendiri gak bisa komentar banyak, kecuali:
“Manusia boleh berkehendak, tapi Yang Kuasa, pada akhirnya yang akan menentukan.”
Seperti dengan kehendak dari para pendaki, Yasuko Namba menaklukkan Gunung Everest ini. Wanita asal Jepang ini telah berhasil menaklukkan 6 dari 7 puncak gunung – kurang satu. Ataupun Doug Hansen, seorang petugas pos yang ingin menunjukkan kepada anak-anak TK asuhannya bahwa jika berusaha, apapun akan bisa dilakukan.
Keduanya memang berhasil menggapai puncak tertinggi tersebut, namun tidak berhasil selamat dari badai yang menghantam mereka.
Nilai Akhir Review Film Everest
Saya pribadi memberi nilai film Everest ini 4 dari 5 bintang karena visualisasi-nya dan juga drama di akhir filmnya itu *masih inget adegan itu sampai sekarang*. Kalau di IMDB, saat ini score-nya masih 7.4 dari 10. Sedangkan di Rotten Tomatoes adalah 73% (alias 6.7 dari 10 secara rata-rata penilaian).
O iya, mohon diperhatikan ya, Parental Guidance untuk film Everest ini adalah PG-13, memang gak ada adegan vulgar gitu, tapi mbok ya diperhatikan saat bawa anak-anak. Suasana yang ditampilkan dan adegan tragedi loh ini. Apalagi di akhir film, Beck itu digambarkan kehilangan hidung.
Saya sendiri sempat bikin post di FB mengenai kondisi PG ini dan memang sepertinya agak kurang diperhatikan oleh orang tua. Pas kemarin nonton sih memang tidak bertemu yang nyeleneh seperti dalam film-film lainnya.
Cuma ya, saya pribadi sih ingin titip pesan aja, ajak nonton anak yang sesuai ya… kasihan anaknya. Udah ah, Review Film Everest 2015 ini ntar jadi melenceng. 😀
Saya baru nonton filmnya karena di download suami. Ampe sekarang masih kepikiran mengenai mayat2 yang masih terdampar di area Everest. Tapi tadi googling, sudah mulai dilakukan pembersihan. Dan Rob Hall diijinkan keluarga untuk tetap berada disana. Overall ceritanya bagus banget, dan membuat Gunung Everest jadi Bucket Wishlist saya pada masa tua nanti. Semoga ya… hihihi
Amin. Semoga mbak.
Pengen rasanya juga ke sana tapi….
sudah nonton film ini, paling suka bgt pas di scene hillary steps bikin bengong sesaat, di ambil dari kisah nyata di tahun 1996 film ini emang layak di acungkan jempol.
Kalau saya pas yang wanita jepannya meninggal. hiks
Makin pengen ke Everest abis nonton ini!
Ke basecampnya aja cukup deh *realistis*, haha
Hahaha. Basecamp aja sptnya susah ya.
Sampe ada adegan kehilangan hidung >.< serem amat
#belomnonton :'(
Iya om. Bener2 ilang idungnya. ?
Ayo ditonton. Kan katanya mau k sana om.
Belum nonton nich, semua orang bilang keren. tapi koq males bangat ke bioskop hikksss
Kenapa males? Sbnrnya sih dah donlot jg filmnya. Hehe. Tp diajak tmn. Ya lgs aja
Nga tau. Males aja. Kalau nonton di bioskop bawaannya sekarang pengen tidur loh. Bingung aku. Wkwkwk. Tapi bagus bangat yach?
Hahaha. Udaranya cocok buat tidur kali ya. Jadi ngantuk.
Benar bangat
belum nonton nih, banyak yang bilang bagus tapi rada thriller~ coba cari waktu weekend ini, semoga masih ada di bioskop 🙂
Agak thriller dalam artian tegang iya mas. 😀
hahah, iya begitu mas 😀
Kalau gitu ayo ditonton mas.
Entah ada apa dengan kolom komentar, kagak muncul, jadi guwe reply aja disini 🙂
Aku suka banget film ini dan bener kalau di 3D pasti bikin makin deg-degan. Anyway, aku sebel banget sama orang yang gak merhatiin urusan PG, film yang ada adegan vulgarnya aja bawa anak kecil, apalagi yang gak ada?
Soal damage secara psikologi kaayaknya hanya segelintir orang yang kepikiran.
Gak bs komen ya Mbak. ?
Jadi penasaran sih kl ntn 3D nya kayak gimana tapi mahal juga. Hehehe
Itu dia mbak. Kmrn saya post di FB n path tanya teman2 soal ini.
Tell me about mahal ya disini nonton bioskop biasa aja 10Euro
Wowwwww. 10? Alamakkk. Masih jauh sih kalau dibandingkan itu
Disana mah sudah bisa selonjoran di Velvet….
Iya mbak. Bisa puas banget d velvet
Jadi petualang memang tidak pernah mudah ya Mas, selalu ada tantangan, tapi selama kita berusaha maka semua tantangan itu pasti bisa kita hadapi :hehe. Jadi kepengin pelan-pelan mulai menjelajah dan keluar dari zona nyaman euy, kadang di saat-saat sedang tidak ada agenda jalan seperti sekarang, rasanya kangen dengan rasa-rasa deg-degan saat menjejak di tempat yang baru :hehe. Sip!
Seperti sekarang? Hmmm. Jd lagi dmn nih skrg?
MAsih belom sempet nonton pilem ini 😐
Ayo nonton mbak. Bagus kok
dan komentar saya hilang 😀
masuk ke spam mas. hiksss
selain di iklan dan di film, mungkin bisa ditambah sama pengelola bioskop kali ya supaya bisa mengingatkan orang tuas soal batasa usia menonton film tertentu…. eh tapi kalau diingatin nanti penontonnya malah kabur 😀 nggak mau beli tiket atau mulangin tiket yang udah dibeli 😀
Bisa sih Mas. tapi sering juga kayaknya lebih galak yang beli tiket mas.
Komennya gak ilang, entah napa masuk ke dalam spam mas. :'(
Buat saya film ini seperti mengobati sedikit kerinduan saya pada suasana Nepal, meskipun keriuhan Kathmandu dan Thamel cuma dilukiskan pada beberapa menit pertama saja. Sampai sejauh ini saya belum membaca bukunya, penasaran sih, cuma keliling ke beberapa toko buku kok gak dapat-dapat. Entah stock nya habis atau memang sudah tidak ada lagi. O iya mas, mau sedikit koreksi di bagian plot nya … itu Mountain Madness kalau tidak salah dipimpin oleh Scott Fischer. Doug Hansen sendiri adalah peserta tour di bawah pimpinan Rob Hall.
nice review mas 🙂
Iya saya salah tulis mas yang itu. Makasih koreksinya. Setelah post tadi baru ngeh dan lupa ganti.
Asik ya ke Nepal mas. Dinginkah di Nepalnya?
Sama-sama mas, senang bisa membantu.
Buat saya sih mengasikkan, karena saya tertarik dengan sejarah, dan keunikan budaya mereka, juga bentang alamnya. Waktu saya kesana sih musim dingin, jadi dingin banget. Tapi dengar-dengar musim panasnya, lumayan juga mas 🙂
Di sana brp musim ya mas?
Krn ntn film ini kyknya mikir kalau mau ke sana. Secara bukan pecinta gunung nih mas. Hehe
Setahu saya empat musim mas. Tapi ada kemungkinan juga lima musim, seperti Sikkim -tetangganya yang kini masuk wilayah India-. Musim panas, gugur, dingin, semi dan monsoon.
Monsoon? Baru dengar tuh saya
Musim hujan maksudnya, agak2 gak fokus tadi jawabnya ?
Hahahaha. Itu maksudnya. ?